ANALISIS PUISI ‘HUTANKU MENANGIS’ KARYA FATMI
SUNARYA
(KAJIAN SEMIOTIK)
Yonda Deswi Ramadhanya
Yonda Deswi Ramadhanya
Program
Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jember
Universitas Jember
Jl.
Kalimantan 37, Sumbersari Jember-68121
Abstract
Poetry is a literary work
translated by rhythm, rhyme and bait compilers and lines whose language looks
beautiful and full of meaning. Poetry is divided into two, namely old poetry
and modern poetry. Old poetry can still be done with a number of lines, bait,
or rhymes (rhymes). Old poetry is poetry and poetry. Modern poetry does not
match the bait, the number of lines, or poetry in its writing. Requesting
modern poetry is called free poetry. The purpose of this paper is to find out
the meaning of Fatmi Sunarya's poem. one of his poems called ‘Hutanku
Menangis’. this is the latest poem that
was just published on one of the literary blogs https://www.kompasiana.com . by using the semiotic study of this poem the
contents and their meaning can be revealed. with a qualitative descriptive
method that describes writing based on literary works. the results showed that
the poetry written by Fatmi Sunarya has a meaning that can be used as a reading
and message for readers to know.
Keywords:
unique
expression, poetic elements, comprehensive meaning
Abstrak
Puisi adalah
bentuk karya sastra yang terikat oleh irama, rima dan penyusun bait dan baris
yang bahasanya terlihat indah dan penuh makna. Puisi terbagi menjadi dua, yaitu
puisi lama dan puisi modern. Puisi lama masih terikat dengan jumlah baris,
bait, ataupun rima ( sajak ). Puisi lama adalah pantun dan syair. Puisi modern
tidak terikat pada bait, jumlah baris, atau sajak dalam penulisannya. Sehingga
puisi modern disebut puisi bebas. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui
makna puisi Fatmi Sunarya. salah satu puisinya yang disebut 'Hutanku Menangis'.
ini adalah puisi terbaru yang baru saja diterbitkan di salah satu blog
sastra https://www.kompasiana.com .
dengan menggunakan studi semiotika puisi ini isinya dan maknanya dapat
terungkap. dengan metode deskriptif kualitatif yang menggambarkan penulisan
berdasarkan karya sastra. hasil penelitian menunjukkan bahwa puisi yang ditulis
oleh Fatmi Sunarya memiliki makna yang dapat digunakan sebagai bacaan dan pesan
untuk diketahui pembaca.
Kata kunci:
ekspresi unik, elemen puitis, makna komprehensif
PENDAHULUAN
Karya sastra ditulis oleh pengarang belum
mempunyai makna dan belum menjadi objek estetik, bila belum diberi arti oleh
masyarakat pembacanya (Pradopo, 1995: 106). Oleh karena itu, sebuah karya
sastra, baik prosa, maupun puisi baru dapat mempunyai makna dan menjadi objek
estetik bila telah diberi makna oleh masyarakat pembacanya. Untuk memberi makna
terhadap karya sastra harus terikat pada teks karya sastra sebagai sistem tanda
yang mempunyai konvensi sendiri berdasarkan hakikat karya sastra. Berdasarkan
hal tersebut, untuk dapat menangkap hakikat karya sastra, diperlukan cara-cara
yang sesuai dengan sifat hakikat karya sastra.
Dalam karya sastra, bahasa disesuaikan dengan
sistem dan konvensi sastra. Karya sastra yang berbentuk puisi, misalnya,
mempunyai konvensi sastra yang berbeda dengan prosa. Konvensi itu mempunyai
arti tambahan kepada arti bahasa. Puisi Sutardji ”Tragedi Winka & Sihka”,
misalnya, yang berbentuk tifografi (tata huruf) secara linguistik tidak
mempunyai arti, tetapi dalam puisi (sastra) mempunyai makna.
Dengan demikian, karya sastra termasuk puisi
merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi sendiri. Konvensi itu berupa
satuan-satuan tanda, seperti kosa kata, gaya bahasa, dan bahasa kiasan
(metafora, simile, personifikasi, dll.). Satuan-satuan tanda itu dalam puisi
mempunyai arti dan makna. Oleh karena itu, untuk merebut atau mencari makna
yang terdapat dalam puisi lebih sulit daripada prosa.
LANDASAN TEORI
Sesungguhnya,
teori strukturalisme-semiotik merupakan penggabungan dua teori strukturalisme
dan semiotik. Keduanya berhubungan erat; semiotik merupakan perkembangan
strukturalisme (Yunus dalam Pradopo, 1994: 125).
Menganalisis sebuah karya sastra dengan
menggunakan teori strukturalisme berarti menganalisis semua unsur-unsur yang
terkandung dalam karya sastra. Unsur-unsur itu saling berhubungan erat. Tiap
unsur dalam situasi tertentu tidak mempunyai arti dengan sendirinya, melainkan
artinya ditentukan oleh hubungannya dengan unsur-unsur lainnya yang terlibat
dalam situasi itu. Makna penuh suatu satuan atau pengalaman dapat dipahami
hanya jika terintegrasi ke dalam struktur yang merupakan keseluruhan dalam
satuan-satuan itu (Hawkes dalam Pradopo, 1995: 142).
Antara unsur-unsur struktur itu ada koherensi
atau pertautan erat; unsur-unsur itu tidak otonom, melainkan merupakan
keseluruhan dalam satuan-satuan itu (Hawkes dalam Pradopo, 1995: 142).
Unsur-unsur dalam
puisi, biasa dikenal dengan sebutan sarana kepuitisan, antara lain, adalah
bahasa kiasan yang berupa metafora, personifikasi, perbandingan, dan sinedoks;
citraan; dan sarana retorika yang berupa ulangan kata, ulangan baris, ulangan
bait, dan pararelisme. Unsur-unsur dalam puisi mempunyai makna yang harus
dijelaskan melalui analisis semiotik.
Analisis semiotik
adalah membuat secara eksplisit kata-kata implisit yang terdapat dalam puisi sehingga
mempunyai arti atau makna (Pradopo, 1995: 143). Bagian-bagian atau unsur-unsur
dalam puisi mempunyai makna dalam hubungan dengan yang lain dan keseluruhannya.
Oleh karena itu, strukturnya harus dianalisis dan unsur-unsurnya yang merupakan
tanda-tanda yang bermakna yang terdapat di dalamnya harus dijelaskan. Dengan
demikian, jelaslah bahwa untuk menganalisis puisi, analisis semiotik tidak
dapat dipisahkan dengan analisis struktural.
Analisis Semiotik
Puisi Fatmi Sunarya
Puisi yang akan dianalisis adalah puisi
berjudul ‘Hutanku Menangis’
HUTANKU MENANGIS
Kulit
bumi sudah semakin tipis
Kering kerontang dalam panas
Mengelupas penuh kudis
Kian sulit mencari ruang hijau teduh
Tiap hari ribuan pohon tercabut mati layu
Tiap menit puluhan hektar lenyap seketika
Mereka senang kala wujud berubah jadi tumpukan kayu
Mereka rebut rumah tempat bercengkrama
Rumah kami tak bernama hutan
Berganti nama perkebunan, perumahan milik perorangan
Kami menangis dalam kepunahan
@fatmisunarya, 19 Desember 2019
Kering kerontang dalam panas
Mengelupas penuh kudis
Kian sulit mencari ruang hijau teduh
Tiap hari ribuan pohon tercabut mati layu
Tiap menit puluhan hektar lenyap seketika
Mereka senang kala wujud berubah jadi tumpukan kayu
Mereka rebut rumah tempat bercengkrama
Rumah kami tak bernama hutan
Berganti nama perkebunan, perumahan milik perorangan
Kami menangis dalam kepunahan
@fatmisunarya, 19 Desember 2019
Pada bait pertama pada puisi
tersebut terdapat bahasa kiasan berupa majas personifikasi,
Kulit
bumi sudah semakin tipis
Kering kerontang dalam panas
Mengelupas penuh kudis
Kering kerontang dalam panas
Mengelupas penuh kudis
Kata “kulit bumi” kulit yang dimaksud adalah kondisi permukaan bumi
(habitat makhluk hidup). Dengan lanjutan “semakin
tipis” yang mendefinisikan semakin krisisnya/rusaknya alam, yaitu
mencairnya es kutub serta hilangnya hutan.
Baris berikutnya terdapat kata “mengelupas penuh kudis” kondisi alam
yang benar-benar sudah memprihatinkan akibat ulah manusia, banyak terjadi
bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Pada bait kedua,
Tiap hari ribuan pohon tercabut mati layu
Tiap menit puluhan hektar lenyap seketika
Mereka senang kala wujud berubah jadi tumpukan kayu
Mereka rebut rumah tempat bercengkrama
Tiap menit puluhan hektar lenyap seketika
Mereka senang kala wujud berubah jadi tumpukan kayu
Mereka rebut rumah tempat bercengkrama
Pada baris pertama dan
kedua “Tiap hari ribuan pohon tercabut
mati layu
Tiap menit puluhan hektar lenyap seketika” kata tiap hari dan tiap menit penggambaran seolah-olah setiap waktu berjalan maka semakin sekarat bumi kita karena ulah manusia. Manusia lebih mementingkan kepentingannya tanpa memperdulikan dampaknya.
Tiap menit puluhan hektar lenyap seketika” kata tiap hari dan tiap menit penggambaran seolah-olah setiap waktu berjalan maka semakin sekarat bumi kita karena ulah manusia. Manusia lebih mementingkan kepentingannya tanpa memperdulikan dampaknya.
Pada bait ketiga,
Rumah kami tak bernama hutan
Berganti nama perkebunan, perumahan milik perorangan
Kami menangis dalam kepunahan
Berganti nama perkebunan, perumahan milik perorangan
Kami menangis dalam kepunahan
Dalam bait terakhir
melukiskan dari sudut pandang penulis yang merasa sedih akan kepasrahan dimana
penggambaran dari bait tersebut dimaksudkan rumah adalah hutan yang masih asri
berubah menjadi pemukiman yang banyak menghilangkan produksi oksigen bagi
makhluk hidup.
Secara keseluruhan
dapat diungkapkan bahwa puisi “Hutanku Menangis” mengungkapkan keadaan alam
yang sungguh mengenaskan dari sudut pandang penulis. Manusia mengutamakan ego nya
dan tidak memperdulikan yang lain dalam mencapai tujuannya. Banyak dilakukan
tebang pohon (penggundulan hutan) berdalih merubahnya menjadi pemukiman atau membangun
bangunan gedung pencakar langit. Akibatnya bukan hanya hewan-hewan yang tinggal
di hutan yang mengalami dampak negative, tetapi secara tidak langsung manusia
juga. Yaitu berkurangnya produksi oksigen. Tanpa adanya oksigen, manusia tidak
akan hidup.
Pengutaraan puisi ini ditulis
dengan baik, pada bait pertama dan kedua terdapat empat larik. Sedangkan bait
ketiga/terakhir terdapat tiga larik. Pada
bait pertama bunyi yang muncul kebanyakan huruf vocal ‘i’ ‘a’ ‘u’ dengan
akhiran larik kebanyakan berakhiran huruf mati ‘s’. Pada bait kedua bunyi yang
muncul kebanyakan huruf vocal ‘i’ ‘a’ ‘u’ menggunakan rima u-a-u-a. Pada bait
ketiga bunyi yang muncul kebanyakan huruf vocal ’a’ ‘i’. pada bait ini teryapat
bunyi akhiran yang selaras yaitu akhiran
‘an’
Pesan yang ingin disampaikan penulis adalah kita
harus menjaga lingkungan sekitar. Meski hanya perbuatan kecil seperti membuang
sampah pada tempatnya merupakan suatu tindakan yang berpengaruh.
DAFTAR PUSTAKA
Alisyahbana, Sutan Takdir. 1977. Perjuangan Tanggung Jawab
dalam Kesusastraan. Jakarta: Pustaka Jaya
Altenbend, Lyn dan Leshe L. Lewis. 1970. Handbook for the
Study of Poetry. London: Collier-Macmillan Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar