Kamis, 19 Desember 2019

ANALISIS PUISI ‘HUTANKU MENANGIS’ KARYA FATMI SUNARYA (KAJIAN SEMIOTIK) Yonda Deswi Ramadhanya


ANALISIS PUISI ‘HUTANKU MENANGIS’ KARYA FATMI SUNARYA
(KAJIAN SEMIOTIK)

Yonda Deswi Ramadhanya
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jember
Jl. Kalimantan 37, Sumbersari Jember-68121


Abstract
Poetry is a literary work translated by rhythm, rhyme and bait compilers and lines whose language looks beautiful and full of meaning. Poetry is divided into two, namely old poetry and modern poetry. Old poetry can still be done with a number of lines, bait, or rhymes (rhymes). Old poetry is poetry and poetry. Modern poetry does not match the bait, the number of lines, or poetry in its writing. Requesting modern poetry is called free poetry. The purpose of this paper is to find out the meaning of Fatmi Sunarya's poem. one of his poems called ‘Hutanku Menangis’. this is the latest poem that was just published on one of the literary blogs https://www.kompasiana.com  . by using the semiotic study of this poem the contents and their meaning can be revealed. with a qualitative descriptive method that describes writing based on literary works. the results showed that the poetry written by Fatmi Sunarya has a meaning that can be used as a reading and message for readers to know.
Keywords: unique expression, poetic elements, comprehensive meaning

Abstrak
Puisi adalah bentuk karya sastra yang terikat oleh irama, rima dan penyusun bait dan baris yang bahasanya terlihat indah dan penuh makna. Puisi terbagi menjadi dua, yaitu puisi lama dan puisi modern. Puisi lama masih terikat dengan jumlah baris, bait, ataupun rima ( sajak ). Puisi lama adalah pantun dan syair. Puisi modern tidak terikat pada bait, jumlah baris, atau sajak dalam penulisannya. Sehingga puisi modern disebut puisi bebas. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui makna puisi Fatmi Sunarya. salah satu puisinya yang disebut 'Hutanku Menangis'. ini adalah puisi terbaru yang baru saja diterbitkan di salah satu blog sastra https://www.kompasiana.com . dengan menggunakan studi semiotika puisi ini isinya dan maknanya dapat terungkap. dengan metode deskriptif kualitatif yang menggambarkan penulisan berdasarkan karya sastra. hasil penelitian menunjukkan bahwa puisi yang ditulis oleh Fatmi Sunarya memiliki makna yang dapat digunakan sebagai bacaan dan pesan untuk diketahui pembaca.
Kata kunci: ekspresi unik, elemen puitis, makna komprehensif         


PENDAHULUAN
Karya sastra ditulis oleh pengarang belum mempunyai makna dan belum menjadi objek estetik, bila belum diberi arti oleh masyarakat pembacanya (Pradopo, 1995: 106). Oleh karena itu, sebuah karya sastra, baik prosa, maupun puisi baru dapat mempunyai makna dan menjadi objek estetik bila telah diberi makna oleh masyarakat pembacanya. Untuk memberi makna terhadap karya sastra harus terikat pada teks karya sastra sebagai sistem tanda yang mempunyai konvensi sendiri berdasarkan hakikat karya sastra. Berdasarkan hal tersebut, untuk dapat menangkap hakikat karya sastra, diperlukan cara-cara yang sesuai dengan sifat hakikat karya sastra.
Dalam karya sastra, bahasa disesuaikan dengan sistem dan konvensi sastra. Karya sastra yang berbentuk puisi, misalnya, mempunyai konvensi sastra yang berbeda dengan prosa. Konvensi itu mempunyai arti tambahan kepada arti bahasa. Puisi Sutardji ”Tragedi Winka & Sihka, misalnya, yang berbentuk tifografi (tata huruf) secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi dalam puisi (sastra) mempunyai makna.
Dengan demikian, karya sastra termasuk puisi merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi sendiri. Konvensi itu berupa satuan-satuan tanda, seperti kosa kata, gaya bahasa, dan bahasa kiasan (metafora, simile, personifikasi, dll.). Satuan-satuan tanda itu dalam puisi mempunyai arti dan makna. Oleh karena itu, untuk merebut atau mencari makna yang terdapat dalam puisi lebih sulit daripada prosa.


LANDASAN TEORI

Sesungguhnya, teori strukturalisme-semiotik merupakan penggabungan dua teori strukturalisme dan semiotik. Keduanya berhubungan erat; semiotik merupakan perkembangan strukturalisme (Yunus dalam Pradopo, 1994: 125).
Menganalisis sebuah karya sastra dengan menggunakan teori strukturalisme berarti menganalisis semua unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra. Unsur-unsur itu saling berhubungan erat. Tiap unsur dalam situasi tertentu tidak mempunyai arti dengan sendirinya, melainkan artinya ditentukan oleh hubungannya dengan unsur-unsur lainnya yang terlibat dalam situasi itu. Makna penuh suatu satuan atau pengalaman dapat dipahami hanya jika terintegrasi ke dalam struktur yang merupakan keseluruhan dalam satuan-satuan itu (Hawkes dalam Pradopo, 1995: 142).
Antara unsur-unsur struktur itu ada koherensi atau pertautan erat; unsur-unsur itu tidak otonom, melainkan merupakan keseluruhan dalam satuan-satuan itu (Hawkes dalam Pradopo, 1995: 142).
Unsur-unsur dalam puisi, biasa dikenal dengan sebutan sarana kepuitisan, antara lain, adalah bahasa kiasan yang berupa metafora, personifikasi, perbandingan, dan sinedoks; citraan; dan sarana retorika yang berupa ulangan kata, ulangan baris, ulangan bait, dan pararelisme. Unsur-unsur dalam puisi mempunyai makna yang harus dijelaskan melalui analisis semiotik.
Analisis semiotik adalah membuat secara eksplisit kata-kata implisit yang terdapat dalam puisi sehingga mempunyai arti atau makna (Pradopo, 1995: 143). Bagian-bagian atau unsur-unsur dalam puisi mempunyai makna dalam hubungan dengan yang lain dan keseluruhannya. Oleh karena itu, strukturnya harus dianalisis dan unsur-unsurnya yang merupakan tanda-tanda yang bermakna yang terdapat di dalamnya harus dijelaskan. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk menganalisis puisi, analisis semiotik tidak dapat dipisahkan dengan analisis struktural.


Analisis Semiotik Puisi Fatmi Sunarya


Puisi yang akan dianalisis adalah puisi berjudul ‘Hutanku Menangis’


HUTANKU MENANGIS

Kulit bumi sudah semakin tipis
Kering kerontang dalam panas
Mengelupas penuh kudis
Kian sulit mencari ruang hijau teduh

Tiap hari ribuan pohon tercabut mati layu
Tiap menit puluhan hektar lenyap seketika
Mereka senang kala wujud berubah jadi tumpukan kayu
Mereka rebut rumah tempat bercengkrama

Rumah kami tak bernama hutan
Berganti nama perkebunan, perumahan milik perorangan
Kami menangis dalam kepunahan


@fatmisunarya, 19 Desember 2019



Pada bait pertama pada puisi tersebut terdapat bahasa kiasan berupa majas personifikasi,

Kulit bumi sudah semakin tipis
Kering kerontang dalam panas
Mengelupas penuh kudis

Kata “kulit bumi” kulit yang dimaksud adalah kondisi permukaan bumi (habitat makhluk hidup). Dengan lanjutan “semakin tipis” yang mendefinisikan semakin krisisnya/rusaknya alam, yaitu mencairnya es kutub serta hilangnya hutan.
Baris berikutnya terdapat kata “mengelupas penuh kudis” kondisi alam yang benar-benar sudah memprihatinkan akibat ulah manusia, banyak terjadi bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

Pada bait kedua,

Tiap hari ribuan pohon tercabut mati layu
Tiap menit puluhan hektar lenyap seketika
Mereka senang kala wujud berubah jadi tumpukan kayu
Mereka rebut rumah tempat bercengkrama
Pada baris pertama dan kedua “Tiap hari ribuan pohon tercabut mati layu
Tiap menit puluhan hektar lenyap seketika”
kata tiap hari dan tiap menit penggambaran seolah-olah setiap waktu berjalan maka semakin sekarat bumi kita karena ulah manusia. Manusia lebih mementingkan kepentingannya tanpa memperdulikan dampaknya.
Pada bait ketiga,
Rumah kami tak bernama hutan
Berganti nama perkebunan, perumahan milik perorangan
Kami menangis dalam kepunahan
Dalam bait terakhir melukiskan dari sudut pandang penulis yang merasa sedih akan kepasrahan dimana penggambaran dari bait tersebut dimaksudkan rumah adalah hutan yang masih asri berubah menjadi pemukiman yang banyak menghilangkan produksi oksigen bagi makhluk hidup.
Secara keseluruhan dapat diungkapkan bahwa puisi “Hutanku Menangis” mengungkapkan keadaan alam yang sungguh mengenaskan dari sudut pandang penulis. Manusia mengutamakan ego nya dan tidak memperdulikan yang lain dalam mencapai tujuannya. Banyak dilakukan tebang pohon (penggundulan hutan) berdalih merubahnya menjadi pemukiman atau membangun bangunan gedung pencakar langit. Akibatnya bukan hanya hewan-hewan yang tinggal di hutan yang mengalami dampak negative, tetapi secara tidak langsung manusia juga. Yaitu berkurangnya produksi oksigen. Tanpa adanya oksigen, manusia tidak akan hidup.
Pengutaraan puisi ini ditulis dengan baik, pada bait pertama dan kedua terdapat empat larik. Sedangkan bait ketiga/terakhir terdapat tiga larik.  Pada bait pertama bunyi yang muncul kebanyakan huruf vocal ‘i’ ‘a’ ‘u’ dengan akhiran larik kebanyakan berakhiran huruf mati ‘s’. Pada bait kedua bunyi yang muncul kebanyakan huruf vocal ‘i’ ‘a’ ‘u’ menggunakan rima u-a-u-a. Pada bait ketiga bunyi yang muncul kebanyakan huruf vocal ’a’ ‘i’. pada bait ini teryapat    bunyi akhiran yang selaras yaitu akhiran ‘an’
Pesan yang ingin disampaikan penulis adalah kita harus menjaga lingkungan sekitar. Meski hanya perbuatan kecil seperti membuang sampah pada tempatnya merupakan suatu tindakan yang berpengaruh.


DAFTAR PUSTAKA
Alisyahbana, Sutan Takdir. 1977. Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan. Jakarta: Pustaka Jaya
Altenbend, Lyn dan Leshe L. Lewis. 1970. Handbook for the Study of Poetry. London: Collier-Macmillan Ltd.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar